Friday, March 11, 2011

Sabar dengan ujian, syukur dengan nikmat, tenang setiap keadaan

Assalamualaikum,

Allah s.w.t berfirman, mafhumnya,

“Demi sesungguhnya! Kami akan menguji kamu dengan sedikit perasaan takut (kepada musuh) dan (dengan merasai) kelaparan dan (dengan berlakunya) kekurangan dari harta benda dan jiwa serta hasil tanaman dan berilah khabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (iaitu) orang-orang yang apabila mereka ditimpa oleh sesuatu kesusahan, mereka berkata: Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan kepada Allah jualah kami kembali. Mereka itu ialah orang-orang yang dilimpahi dengan berbagai-bagai kebaikan dari Tuhan mereka serta rahmatNya dan mereka itulah orang-orang yang dapat petunjuk hidayatNya. (QS. al-Baqarah:155-157)


Allah SWT akan menguji kita dengan musuh, kelaparan, kurangnya harta dan sekiranya kita bersabar dengan ujian itu dan redha terhadap setiap yang diturunkan kepada kita, maka Allah SWT akan memberikan rahmat dan berbagai kebaikan kepada kita.

Di dalam musnad Imam Ahmad, Nabi s.a.w bersabda, 
"Tidaklah seorang hamba yang ditimpa musibah mengucapkan, "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un, ya Allah berilah aku pahala dalam musibahku ini dan gantilah untukku dengan sesuatu yang lebih baik," kecuali Allah akan memberikan pahala dalam musibahnya dan akan memberikan kepadanya ganti yang lebih baik." (HR. Ahmad 3/27)

Jika seorang hamba benar-benar menginsafi bahwa dirinya adalah milik Allah s.w.t. dan akan kembali kepada-Nya maka dia akan terhibur tatkala ditimpa musibah. Kalimat istirja' ini merupakan penyembuh dan penawar paling mujarab bagi orang yang sedang ditimpa musibah. Dia memberikan manfaat baik dalam waktu dekat maupun di waktu yang akan datang. Kalimat tersebut memuat dua prinsip yang sangat agung. Jika seseorang mampu merealisasikan dan memahami keduanya maka dia akan terhibur dalam setiap musibah yang menimpanya. Iaitu,

Pertama; Bahwasanya manusia, keluarga dan harta pada hakikatnya adalah milik Allah s.w.t. . Ianya bagi manusia tidak lebih hanya sebagai pinjaman, sehingga jika Allah s.w.t. mengambilnya dari seseorang maka ia ibarat seorang pemilik barang yang mengambilnya kembali dari si peminjam. Demikian juga manusia sebenarnya tidak mempunyai apa-apa , sebelumnya (ketika lahir) dia tidak memiliki apa-apa dan setelahnya (ketika mati) ia pun tidak memiliki apa-apa lagi.

Kedua; Bahwa kesudahan dan tempat kembali seorang hamba adalah kepada Allah Pemilik yang Haq. Dan seseorang sudah pasti akan meninggalkan dunia ini lalu menghadap Allah s.w.t. sendiri-sendiri sebagaimana ketika mula-mula diciptakan, tidak memiliki harta, tidak membawa keluarga dan anak isteri. Akan tetapi manusia menghadap Allah dengan membawa amal kebaikan dan keburukan.

Allah s.w.t. berfirman, mafhumnya, 
Tidak ada sesuatu kesusahan (atau bala bencana) yang ditimpakan di bumi dan tidak juga yang menimpa diri kamu, melainkan telah sedia ada di dalam Kitab (pengetahuan Kami) sebelum Kami menjadikannya; sesungguhnya mengadakan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kamu diberitahu tentang itu) supaya kamu tidak bersedih hati akan apa yang telah luput daripada kamu dan tidak pula bergembira (secara sombong dan bangga) dengan apa yang diberikan kepada kamu dan (ingatlah), Allah tidak suka kepada tiap-tiap orang yang sombong takbur, lagi membanggakan diri.
 (QS. al-Hadid:22-23)

Bandingkan besarnya musibah dan besanya nikmat yang telah diterima. Maka akan didapati bahwa Allah s.w.t masih memberikan nikmat seumpama musibah malah sebenarnya lebih banyak lagi. Dan jika seseorang bersabar dan redha maka Allah s.w.t. akan memberikan sesuatu yang lebih baik dan besar daripada apa yang hilang dalam musibah, bahkan mungkin dengan berlipat ganda. Dan jika Allah s.w.t. menghendaki maka akan menjadikan lebih dan lebih lagi dari yang ada.

Sedarlah bahawa musibah itu pasti dialami oleh semua orang. Lihatlah ke kanan, maka akan didapati di sana orang yang sedang diberi ujian, dan jika menengok ke kiri maka di sana ada orang yang sedang ditimpa kerugian dan malapetaka. Dan seorang yang berakal, sekiranya ingin memperhatikan sekelilingnya maka dia tidak akan mendapati kecuali di sana pasti ada ujian hidup, entah dengan hilangnya barang atau orang yang dicintai atau ditimpa sesuatu yang tidak disukai dalam hidup.

Ingatlah bahwa hilangnya kesabaran dan sikap berserah diri adalah lebih besar dan lebih berbahaya daripada musibah itu sendiri. Kerana hilangnya kesabaran akan menyebabkan hilangnya keutamaan berupa kesejahteraan, rahmat dan hidayah yang Allah s.w.t. kumpulkan tiga hal itu dalam sikap sabar dan istirja' (mengembalikan urusan kepada Allah).

Syukur merupakan suatu amalan yang utama dan mulia, oleh kerana itu Allah s.w.t memerintahkan kita semua untuk bersyukur kepada-Nya, mengakui segala keutamaan yang telah Dia berikan, sebagaimana dalam firman Nya, yang ertinya,

“Oleh itu ingatlah kamu kepadaKu (dengan mematuhi hukum dan undang-undangKu), supaya Aku membalas kamu dengan kebaikan dan bersyukurlah kamu kepadaKu dan janganlah kamu kufur (akan nikmatKu). (Al-Baqarah :152)

Allah SWT juga memberitahu bahwa Dia tidak akan menyiksa mereka yang bersyukur, sebagaimana yang difirmankan, ertinya,

“Apa gunanya Allah menyeksa kamu sekiranya kamu bersyukur (akan nikmatNya) serta kamu beriman (kepadaNya)? Dan (ingatlah) Allah sentiasa membalas dengan sebaik-baiknya (akan orang-orang yang bersyukur kepadaNya), lagi Maha Mengetahui (akan hal keadaan mereka)”. (An-Nisaa :147)

Allah SWT mengingatkan kita terhadap ganjaran kepada yang bersyukur dan kepada yang kufur.
“Dan (ingatlah) ketika Tuhan kamu memberitahu: Demi sesungguhnya! Jika kamu bersyukur nescaya Aku akan tambahi nikmatKu kepada kamu dan demi sesungguhnya, jika kamu kufur ingkar sesungguhnya azabKu amatlah keras”. (Ibrahim : 7)

Nabi s.a.w  mengucapkan pujian (zikir) di ketika pagi dan petang  sebagaimana berikut, yang maksudnya,

"Ya Allah tidak satu pun kenikmatan yang menyertaiku di pagi /petang  ini atau yang tercurah kepada salah satu dari makhluk Mu, maka itu adalah semata dari Mu, tiada sekutu bagi Mu, untuk Mu lah segala puji dan untuk Mu pula segenap syukur."
Nabi bersabda  bahwa siapa yang membaca zikir ini di waktu pagi, maka ia telah melakukan syukur sepanjang siang harinya, dan barang siapa membacanya ketika petang , maka dia telah melaksanakan syukurnya sepanjang malamnya. (HR. Abu Dawud, dinyatakan hasan oleh Ibnu Hajar dan An-Nawawi)


Jenis-jenis  Syukur

Imam Ibnu Rajab berkata, "Syukur itu dengan hati, lisan dan anggota badan”.

·         Syukur dengan hati adalah mengakui nikmat tersebut dari Yang Memberi nikmat, berasal dariNya dan atas keutamaan-Nya.
           
·         Syukur dengan lisan iaitu selalu memuji Yang Memberi nikmat, menyebut nikmat itu, mengulang-ulangnya serta menampakkan nikmat tersebut, Allah s.w.t. berfirman, artinya,“Dan terhadap nikmat Rabbmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutNya (dengan bersyukur)”.(QS. 93:11)
           
·         Syukur dengan anggota badan iaitu tidak menggunakan nikmat tersebut, kecuali dalam rangka ketaatan kepada Allah s.w.t., berwaspada  dari menggunakan nikmat untuk kemaksiatan kepada-Nya.
Setelah kita tahu hakikat dan jenis-jenis syukur, maka marilah kita bertanya kepada diri kita  sendiri, apakah kita telah bersyukur dengan benar, apakah kita telah sejujurnya mencintai Allah, telah tunduk dan mengakui nikmat dan keutamaan yang diberikan Allah? Apakah kita telah benar-benar memuji Allah, adakah kesyukuran itu telah mempengaruhi hati kita, lisan kita dan seluruh tindak tanduk, akhlak dan pergaulan kita?

Bahagia belum tentu tersimpan di istana yang megah. Bahagia pada sepasang kekasih tentu ada pasang surutnya. Di manakah bahagia? Pada keluasan ilmu, rezeki dan pangkat, atau duduk bercengkerama dengan isteri dan anak-anak? Ternyata itu semua boleh juga menggoncang perasaan, memerah otak jadi lemah, badan kering dan layu, sakit di hati yang susah mengubatinya. 
Selami dasar hati anda, percayalah bahawa sesungguhnya bahagia itu ada pada sifat redha.
Ia bagaikan ubat yang menyejukkan orang yang demam. Seperti rimbunan pohon di tengah panas yang terik, umpama hembusan angin yang sepoi-sepoi bahasa memujuk hati yang luka. Sesungguhnya apa-apa yang datang kepada kita adalah baik belaka kerana Allah SWT lebih mengetahui apa yang 'sesuai' untuk kita. Dia yang memilih, yang Maha sempurna aturan-Nya, yang suci dari cacat cela atas segala pentadbiran-Nya.
Sebagai manusia biasa ada kalanya kita ‘tidak terima’ dengan apa yang terjadi pada diri. Tapi biarlah perasaan itu dikawal pada paras hanya ‘terkejut’ di puncaknya, kemudian surut dengan perasaan redha atas ketentuan-Nya. Firman Allah bermaksud: "Allah pun redha ke atas diri mereka dan mereka pun redha dengan pemberian-Nya." (Surah al-Bayyinah, ayat 8)
Ada dua rahsia yang terkandung dalam kalimah Allah itu, iaitu pertama adalah ayat ini cuba memujuk kita bahawa apa-apa yang datang kepada kita semuanya adalah hadiah pemberian Allah. Ujian itu sebenarnya hadiah yang paling mahal tetapi kadang-kadang manusia menganggap cuma nikmat yang paling berharga.

Kedua, wujudnya hubungan kasih sayang antara Allah dan hamba-Nya. Sayang akan melahirkan redha ke atas apa saja yang dilakukan oleh orang yang kita sayang. Kerana sayang, masakan isteri yang kurang garam terasa sedap juga. Kekasih yang menduga dan menyakiti hati kita terpaksa kita redha sebab sayang. 

Tetapi mengapa pula kita merajuk jika Allah menguji kesetiaan cinta kita. Jika sakit mengeluh panjang, lupa dengan hari ketika ia sihat. Kalau rugi semua orang diamuk, di pejabat, di pasar, di rumah, di jalan raya semua terkena tempias kemarahannya. Rugi yang sedikit itu telah menutup kurniaan Allah yang banyak pada rezekinya selama ini. Betapa sengsaranya orang yang tiada sifat redha.
Hidup tidak tenang, dikejar rasa takut, hati rasa kosong padahal peti besinya penuh dengan duit. Segala hiburan dan perhiasan dunia memang boleh mendatangkan bahagia tapi bukan bahagia yang 'diam' dalam hati, ia cuma menempel sebentar di dinding hati kemudian lenyap begitu cepat. Carilah bahagia yang hakiki di atas jalan yang telah dibentangkan oleh kekasih Allah, Muhammad SAW. Bahagia itu adalah redha. Cukup senang formulanya tetapi susah dilakukan kecuali oleh orang yang bijak mengawal perasaan lagi beriman.
Tanda redha ada tiga. Pertama adalah kata yang baik ketika menerima ujian Allah. Innalillahi wainna ilaihi rajiun (Kami adalah milik Allah dan kepada Allah kami akan dikembalikan). Bukan sumpah seranah dan maki hamun rasa tak puas hati.
Kedua, ketika susah ingatlah dengan nikmat Allah yang banyak. Di situ anda akan berasa beruntung dengan apa yang ada pada diri.
Ketiga, ikhtiar jangan berhenti. Redha bukan bermakna menerima tanpa usaha. Itu adalah putus asa dan pesimis namanya. Tapi redha adalah semangat yang membangkitkan hati yang sedih, yang menajamkan akal fikiran, menguatkan hentakan kaki dan membuahkan idea yang bernas untuk berjaya. Jadilah orang yang bahagia dengan kekuatan yang tersimpan dalam mustika yang bernama redha kepada Allah.

Wallahu'alam..










No comments:

Post a Comment